“Pemangku Kepentingan Mengeluarkan Seruan, Dorong Gaya Hidup Sehat demi Mencegah Obesitas pada Generasi Muda”

JAKARTA – Obesitas pada anak menjadi salah satu masalah kesehatan yang mendapat perhatian di Indonesia. Data terbaru menunjukkan bahwa Indonesia saat ini mengalami tiga beban malnutrisi (TBM), dengan peningkatan yang signifikan pada kasus kelebihan berat badan dan obesitas di masyarakat, termasuk di kalangan rumah tangga berpenghasilan rendah.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan bahwa 1 dari 5 anak usia sekolah (20 persen atau 7,6 juta) dan 1 dari 7 remaja (14,8 persen atau 3,3 juta) di Indonesia menderita kelebihan berat badan atau obesitas.

Para pemangku kepentingan, seperti Kementerian Kesehatan, Kedutaan Besar Denmark di Indonesia, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), berbagai asosiasi medis, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), dan Novo Nordisk, bekerja sama untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya mengatasi masalah obesitas pada anak di Indonesia. Ini merupakan contoh kolaborasi antara sektor publik dan swasta dalam mengatasi obesitas pada anak. Bersama-sama, mereka berkomitmen untuk berdiskusi dan bekerja sama guna mencari solusi yang komprehensif, termasuk perbaikan sistem makanan dan perkotaan, yang akan berdampak positif pada kesehatan dan kesejahteraan anak.

Wakil Menteri Kesehatan Prof. dr. Dante Saksono Harbuwono, Sp.PD, KEMD, PhD menyatakan bahwa menurut data Riskesdas, obesitas di Indonesia meningkat dari 10,05 persen pada 2007 menjadi 21,8 persen pada 2018. Obesitas pada anak juga berpotensi menyebabkan resistensi insulin dan berdampak pada penyakit diabetes dan gangguan kardiovaskular.

“Seiring dengan Indonesia yang sedang menuju Indonesia Emas 2045, kita juga harus mempersiapkan anak-anak Indonesia untuk bebas dari obesitas dengan memberikan contoh pola makan yang sehat. Dengan kerja sama strategis dari semua pemangku kepentingan, kami yakin hal ini akan membantu meningkatkan penyebaran informasi mengenai faktor risiko obesitas pada anak dan cara pencegahannya,” ujar beliau di Jakarta belum lama ini.

Prof. Dr. dr. Aman Bhakti Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI, Direktur Eksekutif di International Pediatric Association, menjelaskan bahwa obesitas pada anak dapat diukur menggunakan kurva referensi yang meliputi pengukuran berat badan dan tinggi badan. Jika kurva menunjukkan angka persentil di atas 85, itu menandakan bahwa anak tersebut mengalami overweight atau kelebihan berat badan. Jika angka persentil di atas 95, maka anak tersebut dapat dikategorikan sebagai obesitas.

“Ketika anak mengalami obesitas selama bertahun-tahun, biasanya akan timbul warna kehitaman pada leher anak. Hal ini disebut sebagai acanthosis nigricans (AN), suatu kelainan kulit yang sering terjadi pada anak yang gemuk. Perlu diwaspadai, karena anak dengan AN memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan insulin,” jelas beliau.

“Kelebihan lemak di seluruh tubuh juga dapat menyebabkan anak yang mengalami obesitas sering mengalami sesak napas,” tambahnya.

Menurut Prof. Aman, data menunjukkan bahwa sekitar 15-16 persen siswa SD di Jakarta mengalami resistensi insulin, sementara 34 persen siswa SD di Jakarta telah mengalami hipertensi. Dengan kondisi ini, risiko penyakit diabetes dan penyakit lainnya pada anak-anak tersebut meningkat secara signifikan.

Untuk mengatasi anak yang telah mengalami obesitas, disarankan untuk menghindari makanan yang diproses, mengonsumsi lima kali buah dan sayur per hari, tidak duduk lebih dari dua jam sehari, berolahraga selama satu jam setiap hari, dan mengurangi konsumsi gula atau gula tambahan.